Sampai kapan aku akan terus disini? Bersembunyi di balik
pagi, menghitam karena tak berani menantangnya? Sampai kapan aku terus begini? Bersembunyi
dalam sunyi, berusaha menutupi seperti pengecut?
Tak pernah berhenti aku memaki diriku sendiri. Atas kebodohan
yang telah kulakukan. Atas hal sia-sia yang selalu mengganjal hidupku. Iya, aku
menyesal. Amat menyesal.
Jika saja aku punya sedikit lebih banyak nyali untuk
ungkapkan semuanya. Jika saja aku punya sedikit keberanian untuk menatap
matamu.
Ah, mata itu. Mengapa ia begitu menyiksaku? Sepasang bola
mata hitam pekat yang selalu menatap tajam apapun yang ia lihat. Sepasang bola
mata yang akan membuat siapa saja yang bertatapan dengannya mengakui
keindahannya. Sepasang bola mata yang membuat hati ini takluk, menuntun rasa
itu untuk terus turun memasuki relung-relungnnya.
Aku tak pernah sanggup menatapnya. Karena hal itu sama saja
dengan menghujani hatiku dengan rasa kagum padanya. Semakin lama aku menatap
mata itu, semakin jatuh hati aku dibuatnya. Semakin lama berhadapan dengannya,
semakin takluk hati ini di hadapannya.
Itulah alasan, mengapa aku tak pernah sanggup mengungkapkan
semuanya. Karena aku tak pernah cukup sanggup berlama-lama berhadapan dengannya. Untuk seorang
pria berumur 21 tahun, aku memang payah. Ya, silahkan. Silahkan sebut aku
pecundang.
Tapi kali ini, semua sudah berbeda. Aku harus bisa
berhadapan dengannya. Aku harus bisa menatapnya agar ia tahu apa yang ada dalam
hati ini. Setidaknya, untuk beberapa menit saja. Setidaknya, untuk kesempatan
terakhirku ini.
“Selamat ya, Nova. Aku turut bahagia atas pernikahanmu.”
Berhasil. Aku berhasil menatap matanya. Di atas pelaminannya. Di samping pria
yang sudah berhasil mendapatkannya.
Life is too short to keep some important words like ‘i love
you’. Yeah, i prove it.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari
http://www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar