Ketika semua orang menginginkan kemudahan, aku tidak ingin
menjadi mudah bagimu. Karena ketika kau mendapatkanku dengan mudah, semudah itu
pula kau akan melepaskanku. Dan kau tahu? Sejujurnya, aku tak ingin kau
lepaskan.
Jadi, disinilah kita berada sekarang. Di hari ke 150 kau
mendekatiku. Di hari ke 150 kau selalu berusaha mencuri hatiku. Di hari ke 150
kau senantiasa ada untukku, demi luluhkan hati ini.
Kau tahu? Kau cukup bodoh, sayang.
Kau tak tahu, bahkan aku telah jatuh hati padamu di pertemuan pertama kita. Kau tak tahu, bahkan hati ini telah menjadi milikmu jauh sebelum kau mencoba untuk mencurinya. Kau tak akan pernah tahu. Aku bahkan menulis rapih semua hal yang pernah kau lakukan untukku. Sejak pertama kau memperhatikanku. Sejak pertama kau mendekatkan dirimu padaku. Kutulis semuanya. Rapih. Indah. Dan tak ada yang terlewatkan.
Kau tak tahu, bahkan aku telah jatuh hati padamu di pertemuan pertama kita. Kau tak tahu, bahkan hati ini telah menjadi milikmu jauh sebelum kau mencoba untuk mencurinya. Kau tak akan pernah tahu. Aku bahkan menulis rapih semua hal yang pernah kau lakukan untukku. Sejak pertama kau memperhatikanku. Sejak pertama kau mendekatkan dirimu padaku. Kutulis semuanya. Rapih. Indah. Dan tak ada yang terlewatkan.
Ketika kau mencoba mendapatkan nomer ponselku. Ketika kau
menaruh bingkisan istimewa di loker sekolahku. Ketika akhirnya kau
menghampiriku di pinggir lapangan basket sekolah kita. Ketika kau dengan senyum
manismu selalu setia menungguku di selasar menuju kelas kita. Ketika pesan dan
suaramu di telepon menjadi bagian rutinitasku sehari-hari.
Ketika itu semua terjadi, kau tak akan tahu, bahwa aku benar-benar
mengingatnya dengan baik. Ketika itu semua terjadi, kau tak akan tahu, bahwa
aku amat bahagia karena aku pun memiliki rasa yang sama. Ketika itu semua
terjadi, kau tak akan tahu, bahwa semua seperti mimpi indah yang menjadi nyata
bagiku. Iya. Kau tidak tahu. Karena kau pasti tak menyangka, bahwa kau tidak
jatuh cinta sendirian, bahwa aku pun telah menyukaimu, mungkin bahkan sebelum
kau dapat merasakannya.
Kau tidak tahu semua itu. Karena aku yang sengaja
merahasiakannya, sayang. Karena rasa yang mendalam ini, aku enggan menjadi
mudah untukmu. Iya, sayang. Itu alasan, mengapa kerap kuacuhkan pesan dan
teleponmu. Bisa kau bayangkan bagaimana sulitnya menahan candumu itu? Itu juga
alasan, mengapa aku tak selalu mengiyakan ajakan kencanmu. Padahal, setelah
menolaknya aku bisa mengurung diri seharian di kamar, hanya untuk merutuki
sikapku padamu.
Biarlah. Biar dunia tertawakanku karena bersikap senaif ini.
Biarlah dunia mencaciku atas sikap munafikku selama ini padamu.
Aku hanya ingin kau berusaha. Memiliki rasa yang sama seperti
yang kau tunjukkan, membuatku enggan untuk begitu saja mempercayaimu. Aku hanya
ingin memastikan. Apa yang kau lakukan untukku ini bukanlah sementara. Apa yang
kau berikan padaku ini bukanlah pemenuhan obsesimu semata. Karena aku amat
mencintaimu, biarkanlah aku untuk meyakinkan diri ini terlebih dahulu. Semoga kau
mengeri, sayang.
Dan kini, tepat di hari ke 150 kau mendekatiku, akhirnya kau
katakan itu semua.
Semua kata-kata yag ingin kudengar dari mulutmu. Semua hal
yang kunantikan selama ini. Semua mimpi yang kukira hanya akan ada di dalam
tidurku.
Perihal yang membuatku menyerah. Hal yang membuat egoku
harus mengalah, dan mengakui kuasa cinta. Inilah saatnya. Saatnya kuberikan
kemudahan untukmu. Dengan satu janji, tentunya. Jangan pernah lepaskan aku,
semudah atau sesulit apapun kau mendapatkanku kini. Janji, sayang?
“Iya, aku mau jadi pacar kamu, Bi.” Jawab Shinta dengan
wajah meranum, kepada Abi, pencuri hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar