Rabu, 30 April 2014

#FF2in1 : Rasa Itu

Aku tak akan pernah lupa paras itu. Wajah teduh yang selalu menemani hari-hariku. Aku tak akan pernah lupa rona itu. Rona ketika kau tertawa, hingga meranum wajahmu. Aku tak akan pernah lupa suara itu. Suara seorang gadis kecil, agak cempreng, namun selalu renyah di telingaku. Aku tak akan pernah lupa kamu.
Masih kuingat dengan jelas hari itu. Hari dimana aku melihatmu menangis di dalam mobil, di pangkuan ibundamu, dan ayahmu yang melajukan mobil itu meninggalkan halaman rumahku. Aku tak akan pernah lupa...
Di balik dinding ruang tamu rumahku ini aku bersembunyi, mencoba mencuri dengar apa yang sedang para orang tua itu bicarakan. Ah, iya. Aku ingat, saat itu kau berada di pelukan ibumu. Kau menangis. Dan aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Jadi harus pergi sekarang ya, Mbak Yu ?” itu suara ibuku.
“Iya, Mbak. Mendadak aku dapat kabar dari kampung, ibu sudah sakit parah, aku gak bisa nunda lagi kepindahan kami, Mbak.” itu suara ibumu, rona wajahnya amat haru.
“Betul, Mbak. Maka dari itu kami ingin pamitan. Mudah-mudahan silaturahmi kita dapat selalu terhubung ya, Mbak.” kali ini ayahmu bersuara.
“Tapi, bagaimana dengan Hanum? Sepertinya dia amat terpukul. Kasihan kalau sampai anakmu ini shock dengan kepindahan kalian yang mendadak ini.. Raka juga pasti sedih kehilangan teman bermainnya.”
“Iya, Mbak. Dari pagi tadi Hanum mogok makan. Aku juga bingung, Mbak, tapi kepindahan kami benar-benar tidak bisa ditunda.. Nanti biar aku dan Mas Prio memberikan penjelasan pada Hanum.” ibumu tersenyum miris.
“Titip salam untuk Raka ya, Mbak. Sampaikan bahwa Hanum juga amat sedih harus meninggalkan abangnya itu..” ayahmu menambahkan.
Raka kecil masih tidak terlalu paham apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan. Pindah? Siapa yang mau pindah? Kenapa Hanum menangis? Ah, aku benci melihat Hanum menangis.
Setelah kedua orang tuamu meninggalkan ruang tamu rumahku, ibu menghampiriku. Ia terkejut karena mendapatiku yang sedang merapat di balik dinding ruang tamu. Ibu menjelaskan semuanya. Dan aku jadi paham. Aku berlari sekuat tenaga. Mendobrak pintu ruang tamu rumahku. Berusaha mengejar mobil ayahmu yang siap tancap gas. Aku dapat melihatmu sedang menatapku dengan air mata di kedua pipi merahmu. Jangan menangis, Hanum. Kau pernah berjanji padaku untuk tidak akan menangis, ketika aku menolongmu terjatuh dari sepedamu tempo hari. Aku benci melihatmu menangis.
Aku terus berlari. Kupanggil namamu kencang-kencang. Berharap semua yang kulakukan ini dapat menghentikan laju mobil ayahmu, dan mengembalikanmu padaku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Rasanya begitu sakit melihat mobilmu meninggalkan jalanan ini.. Aku benci rasa itu.
Dan pagi ini. Aku benci pagi ini. Aku benci karena rasa itu datang lagi. Aku benci, Hanum, aku benci semua ini.

“Kuatkan dirimu, Raka. Hanum sudah tenang di alam sana..” ibu meraih lengan berototku, mencoba membangunkanku dari sisi Hanum. Sisi Hanum di bawah liang lahat ini.

Kau tau rasanya? Ditinggalkanmu ke kota lain saja sudah membuatku sakit. Lantas, bagaimana pagi ini? Aku benci rasa kehilangan ini.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar