Selasa, 06 Mei 2014

Aku Kalah

Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang pria 20 tahun yang selalu berlindung di balik tameng palsu. Yang selalu berlindung di balik jubah keangkuhan. Aku memang egois. Aku angkuh. Aku tak pernah mau berdamai dengan apapun yang terjadi. Katakan saja, aku bodoh. Iya, mungkin aku bodoh.
Aku bukan orang rendah diri. Aku akan sekuat tenagaku untuk tidak terlihat menyedihkan. Aku tidak ingin orang lain tahu kelemahanku. Aku tidak akan membiarkan orang-orang mengetahui isi hatiku sebenarnya. Ah, memangnya orang sepertiku masih memiliki hati? Mungkin tak akan ada yang percaya itu.
Aku tidak pernah mau kalah. Aku tidak pernah ingin kalah. Tidak akan. Aku tidak akan kalah. Oleh siapapun. Untuk alasan apapun. Aku harus selalu jadi pemenangnya.
Apa kau bilang? Hidup ini takdir yang menentukan, hah? Tidak. Tidak ada dalam kamusku. Bagiku, hidup ini ada di tanganku. Aku yang harus mengaturnya. Aku yang memegang kendali. Dan aku tidak akan kalah oleh keadaaan apapun. Oleh takdir apalah itu namanya. Bahkan, oleh apa yang hatiku sendiri katakan.
Aku ini seorang anak adam. Aku dilahirkan untuk menjadi tangguh. Dan untuk alasan itu aku tak pernah ingin kalah dari makhluk bernama hawa. Merekalah yang harus tunduk padaku. Merekalah yang harus memujaku. Mereka yang harus patuh padaku. Termasuk untuk urusan perasaan, aku tidak akan luluh pada mereka.
Seperti yang telah berlangsung selama ini. Aku selalu dipuja-puja kaum hawa. Mereka yang melihatku, dapat merasakan pesonaku. Dan tak akan mampu mengalahkannya. Mereka yang berjumpa denganku, pasti akan terhipnotis oleh kuatnya auraku. Dan tak akan ada yang mampu mengecohnya. Aku memang terlahhir sebagai primadona. Sebagai seorang pujangga yang dicintai angin dan langit.
Aku tidak dilahirkan untuk memuja, aku hanya pantas mereka puja. Aku tidak diciptakan untuk tunduk di bawah kaki seorang lemah lembut seperti mereka. Aku ada untuk mereka gantungkan segenap hatinya padaku.
Mengapa? Ada yang salah? Rasanya aku tidak salah. Dari awal pun sudah kukatakan bukan, aku memang angkuh, hah? Dari awal pun sudah kuceritakan, betapa aku benci menjadi lemah dan akan sekuat tenaga menutupi apapun yang melemahkanku?
Aku angkuh.
Setidaknya, sebelum aku jatuh.
Tidak pernah aku bayangkan, dunia akan mengujiku seperti ini. Apaan-apaan ini semua? Bahkan terlintas di pikiranku saja pun tidak pernah sama sekali.
Aku ini kokoh. Mana mungkin dijatuhkan oleh sebuah perasaan merah jambu yang selama ini selalu aku jadikan permainan?
Aku sudah memilikinya selama 3 tahun terakhir ini. Menjalani hari-hari bersamanya. Ya, setidaknya, dengan perbandingan 1 banding 3. 1 bulan kami akan amat mesra. 3 bulan akan kuacuhkan dia hingga ia tak mengerti apa salahnya.
Tidak, dia tidak pernah salah akan apapun. Hanya saja, bagiku, memasukkan ke dalam permainan cintaku ini amat menyenangkan. Jahat? Sudah kukatakan sejak awal, bukan?
Anehnya, dia tidak seperti kaum hawa yang sebelumnya kujumpai. Yang lalu-lalu, mereka hanya akan mampu bertahan denganku setidaknya 4 bulan saja. Tapi, apa yang dia lakukan? Ia bahkan sanggup menemaniku, menjalani permainanku yang amat menyiksanya hingga hitungan tahun. Sudah gilakah ia?
Tidak. Katanya, ia amat mencintaiku. Itu yang ia katakan padaku setiap malam, di setiap pesan singkat yang ia kirimkan pada ponselku. Yang bahkan tak pernah aku tanggapi.
Tapi ia tak pernah berhenti mengirimiku pesan sederhana itu setiap malam.
Dulu, aku tidak pernah menganggap itu semua berarti. Apalah artinya pesan seperti itu? Hanya sekalimat cengeng, bukan?
Sayangnya, waktuku telah habis. Dunia mungkin sudah muak dengan keangkuhanku. Mungkin semesta marah akan keegoisanku. Kini, aku menuai buahnya.
Ia pergi.
Pergi karena tak cukup sanggup lagi untuk bertahan di sampingku.
Menahan luka hati untuk pria angkuh, penuh ego sepertiku.
Aku kira dia akan kembali, seperti yang selalu ia lakukan. Kembali pada pelukanku. Tapi kini? Ia benar-benar pergi. Dan tak sudi kembali.
Dan. Aku kacau. Ia benar-benar pergi. Tak ada lagi yang menyanjungku tiap malam. Tak ada lagi yang akan menemaniku. Tak ada lagi yang akan dengan sabarnya memenuhi semua keinginan hatiku. Bukan. Aku tidak perduli lagi itu semua. Aku hanya ingin dia di sampingku. Seperti biasa. Ketika dia pergi, lebih dari separuh hati ini pergi bersamanya. Tanpa kusadari, melihatnya yang selalu setia di sampingku, memiliki ia yang selalu senantiasa tersenyum kala aku di bawah ego, aku telah mencintainya. Hal yang tak pernah terjadi dalam hidupku.
Aku kalah pada perasaan bernama cinta itu. Ia tumbuh bahkan meluluhkan semua rantai-rantai yang melingkar tanda keangkuhan hati dan jiwa ini. Ia merayap jauh ke dalam relung yang tak pernah aku singgahi. Bagian terdalam yang selama ini tak tersentuh. Bagian dimana cinta dapat tumbuh dengan suburnya.
Sekarang, apalah aku ini?
Aku lahir menjadi nol besar. Ketika aku baru saja menyadari, aku tidaklah sekuat yang kubayangkan. Ketika aku terhenyak, aku telah melebur menjadi serpihan hanya karena sepucuk merah jambu itu.
Aku kalah. Aku benar-benar kalah. Oleh hal yang tidak pernah kubayangkan akan mengalahkanku. Cinta.

"Karena orang yang paling sering memaafkanmu adalah orang yang paling mencintaimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar