Kamis, 29 Mei 2014

Ketika Panah Cinta Dilepaskan



Putri

Aku belum pernah melihat pria ini. Mungkin ini kali pertama ia datang ke panti ini. Ah, apa hanya aku saja yang melewatkannya selama ini?

Panti asuhan ini sudah seperti rumah keduaku. Sejak duduk di bangku SMA aku sudah gemar turun tangan dalam kegiatan-kegiatan sosial. Bagiku, menolong atau sekedar menghibur mereka yang tidak seberuntung orang kebanyakan adalah hal yang menyenangkan. Dan panti asuhan ini adalah salah satu tempatku memperoleh kesenangan itu. Aku amat menyukai anak kecil. Bagiku, mereka benar-benar seperti malaikat tak berdosa dengan segala tingkah lucunya. Melihat mereka bersedih karena harus kehilangan kedua orang tuanya adalah hal yang menyakitkan untukku. Membuatku selalu merasa wajib bersyukur karena dilahirkan di keluarga yag harmonis dan masih dapat memeluk kedua orang tuaku erat. Ada hal yang tak dapat kujelaskan, yang membuatku merasa harus menolong atau sekedar berbagi canda dan tawa bersama mereka.

Biasanya, kuhabiskan waktu akhir pekanku di panti ini. Mengingat kegiatanku sebagai mahasiswa tingkat akhir, dengan segala jurnal dan tuntutan menyelesaikan studi tepat waktu, membuatku agak kesulitan untuk berkunjung ke panti ini setiap hari. Disini, aku dapat melakukan banyak hal. Membantu Ibu Maryam menyiapkan makan untuk anak-anak. Membantu Pak Soleh membersihkan taman tempat bermain anak-anak. Dan yang utama, mengajari anak-anak mengaji atau belajar materi sekolah mereka setiap selepas Ashar.

Ada pemandangan baru yang kutemukan hari ini. Ada seorang pria yang berkunjung ke panti ini. Anehnya, aku tak mengenalnya. Padahal, anak-anak begitu akrab dengannya. Anak-anak juga bercerita bahwa Kak Arman (sapaan mereka kepada pria ini) sering berkunjung ke panti ini. Aneh. Bagaimana bisa aku tak mengenalinya?

Ada lagi hal aneh yang kulihat dari dirinya. Ia tampak semrawut. Dandanannya cukup nyentrik. Dari gayanya, sepertinya ia bukan mahasiswa. Ia tampil seperti penyanyi rock yang sering kutemukan di layar kaca. Pakaiannya serba hitam. Dengan rompi berbahan kulit yang juga sudah usang. Ia menutupi kepalanya dengan topi yang dipakai berputar ke belakang. Ia datang dengan gitarnya. Banyak tempelan berbagai macam bentuk dan tulisan yang memenuhi badan gitarnya. Ia benar-benar tampak nyentrik. Dan bagaimana bisa pria nyentrik seperti ini aku temukan begitu akrab dengan anak-anak di panti asuhan ini?

Usut punya usut, ternyata namanya memang benar Arman. Ia adalah seniman jalanan yang memang rutin datang ke panti ini untuk menghibur anak-anak. Ibu Maryam yang bercerita kepadaku, saat menemukanku sedang diam-diam memperhatikan pria itu dari kejauhan.  Katanya, Arman seumuran denganku. Ia kerap berkunjung ke panti ini di hari-hari kerja, hari yang tak mungkin bisa kuluangkan waktuku untuk berkunjung ke sini. Pantas saja, aku belum pernah melihatnya.

Ibu Maryam bercerita banyak tentang Arman. Katanya, walau ia pria jalanan, ia sangat mencintai anak-anak. Terlebih lagi, ia juga kerap turun dalam aksi sosial, membantu mereka yang kesulitan. Padahal, ia sendiri bukan orang yang tak butuh bantuan. Tapi ia selalu menolak untuk dikasihani. Katanya, pria itu dilahirkan untuk membantu, bukan dikasihani. Katanya, ia akan mampu bertahan hidup dengan membantu orang lain. Sungguh, mendengar cerita dari Ibu Maryam ini membuatku semakin penasaran dengan pria ini.

Aku hidup di lingkungan sosial yang cukup hangat. Aku sering terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan sosial. Tapi aku tak pernah menemukan pria sepertinya. Yang rela bersusah payah membantu orang lain, bahkan dalam kondisinya yang juga butuh bantuan. Kata Ibu Maryam, walaupun ia bukan kaum intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi, Arman adalah pria yang cerdas. Ia memiliki karakter pribadi yang kuat, yang mungkin tidak semua kaum intelektual itu miliki karena sudah terlalu muak dengan fananya kehidupan. Tapi Arman berbeda, baginya, kesejahteraan orang-orang di sekelilingnya jauh lebih penting dari apapun.
Setelah mendengar cerita panjang Ibu Maryam tentang sosok pria ini, aku menemukan diriku diselimuti rasa kagum padanya. Sosok yang belum pernah aku temui sebelumnya. Diam-diam, aku masih memperhatikan dari jauh. Dan mulai larut, dengan senyum merekah di bibir, tanpa kusadari.

Ketika mata ini tak lepas memperhatikannya dari jauh. Sepasang mata yang dimiliki tubuh yang sedang kuperhatikan itu menoleh ke arahku. Tersenyum.  Hangat sekali. Dan, oh tidak. Ia berjalan ke arahku.

Aku..aaa...ini...harus bagaimana.

Aku salah tingkah.

**

Arman

Rasanya, ada yang memperhatikanku dari jauh sedari tadi. Sebagai seorang perasa yang normal, aku dapat merasakan gerak-gerikku diperhatikan orang lain. Tapi, siapa?

Aku sudah hampir satu jam berada di ruangan bermain ini. Dengan gitar yang selalu menemani langkahku mencari sesuap nasi ini, aku memainkan beberapa lagu kesukaan mereka, anak-anak panti yang sedari tadi riang berdendang bersamaku. Aku memang mencintai anak-anak. Mereka sangat polos dan tidak berdosa. Mereka tidak boleh tersakiti. Hatinya masih terlalu putih untuk kelamnya kehidupan yang sesungguhnya. Terlebih, aku juga mencintai orang-orang di sekelilingku seperti aku mencintai diriku sendiri. Rasanya tak tega bila tetap diam saat melihat di sekitarku ada yang sedang kesulitan. Tidak, aku bukannnya sombong. Aku memang masih sangat membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup. Membantu sesama dalam keadaanmu yang lapang adalah kewajiban, tapi membantu sesama ketika kau sedang dalam kesempitan, aku rasa itu lebih mulia.

Keadaanku yang menyedihkan ini yang mungkin mendorongku untuk lebih mencintai sesama. Aku sebatang kara hidup di jalanan. Jangan tanya, kemana keluargaku. Aku bahkan tak mengenal mereka. Jangan tanya juga, tamatkah sekolahku. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku masuk ke dalam ruang kelas. Rasanya itu sudah belasan tahun lalu. Ketika keluarga cendana yang cemerlang itu masih menguasai tanah air ini, aku terakhir kali menerima rapor nilaiku kelas 5 SD. Ya, beruntungnya aku masih bisa membaca dan menulis. Ditambah lagi, aku termasuk orang yang mudah bergaul. Temanku cukup banyak. Dan dari mereka semua aku juga belajar ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Jadi ya, setidaknya aku masih tau perkembangan dunia, tidak bodoh betul sepertinya. Hehehe.

Aku kembali memutar pandanganku ke seluruh penjuru ruangan untuk menemukan sesosok mata yang sedari tadi menghujaniku dengan tatapannya.

Ah, dia? Gadis dengan kemeja bunga berwarna hijau tosca itu? Apa yang dia perhatikan sejak tadi?

Aku penasaran. Baiknya, kutanyakan saja langsung padanya.

Aku pun mengumbar senyum dan mulai melangkah ke arahnya yang sedang duduk di salah satu pojok ruang ini.

Ia yang menyadari bahwa aku memergokinya tampak mulai mengatur posisi duduknya. Ia tampak salah tingkah. Dengan wajah memerah, ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya, sembari sesekali menggaruk bagian belakang kepalanya yang kuyakin betul tidaklah benar-benar terasa gatal.

Lucunya gadis ini.

Tapi tunggu, siapa dia? Ah, apa jangan-jangan dia adalah gadis yang kerap Ibu Maryam ceritakan padaku? Mahasiswi yang kerap membantu di panti asuhan ini?

“Assalamualaikum.” aku mengulum senyum. “Boleh duduk disini?”
“Wa..walaikumsalam.. eh, iya, hmm boleh..” wajahnya masih memerah ketika ia mendongakkan kepalanya ke arahku. Dengan jarak sedekat ini, senyumnya manis bukan main.
“Apa aku hanya kegeeran atau emang dari tadi kamu merhatiin aku, ya?” entah mengapa bagaimana bisa aku begitu percaya diri melontarkan pertanyaan itu pada gadis manis ini. Bodohnya. Sekarang, aku yang salah tingkah.
“Hahaha instingmu kuat juga ya. Sedang asyik memainkan gitarmu itu, masih bisa juga menangkap basah aku disini.” syukurlah, sepertinya gadis ini cukup ramah. “Tadi, Ibu Maryam bercerita banyak tentang dirimu.” lanjutnya.
“Biar kutebak, kamu yang namanya Putri?”
“Dari mana bisa tau?” dahinya berkerut.
“Oh, ternyata benar. Seorang mahasiswi yang kerap membantu Bu Maryam dan Pak Soleh di panti ini, kan? Kenalkan, aku...”
“Arman, kan?” ia menoleh ke arahku, membiarkan sorotan matanya yang tajam menghujamku tepat di retina mataku. Aku harus mengakui satu hal lagi. Matanya, aduhai, indah nian. Hitam pekat. Tatapan seorang pemberani.
“Hahaha, aku lupa, Ibu Maryam pasti sudah banyak bercerita tentangku, ya?” tanyaku. Sedikit salah tingkah.
“Jadi, kita sudah berkenalan nih? Lewat bu Maryam?” giliran ia yang menggodaku. Tak usah kau goda, nona manis, aku sudah tergoda olehmu sejak kau ulum senyum manis dan kau pancarkan sinar matamu yang tajam itu.

Kami tertawa bersama. Tawa Putri terdengar amat merdu di telingaku. Dan tawaku pun belum pernah seringan ini. Aku tidak pernah merasa senyaman ini berada di samping seorang wanita sebelumnya. Ah, gila. Rasanya belum ada 10 menit aku di sampingnya. Mungkinkah aku jatuh hati? Pada pandangan pertama? Tapi, siapalah aku ini? Aku hanya seorang pengamen jalanan. Aku mana pantas bersanding dengan gadis ini. Ia yang berpendidikan tinggi, mana sudi menerima cintaku yang tak tau diri ini. Modalku, hanyalah keberanian dan harapan yang besar untuk berbagi kebaikan bersamanya, bolehkah aku jatuh cinta padanya?

 ***

Senyum menjulang. Dari atas sini. Dari sosok yang sejak lama memperhatikan keduanya. Tanpa mereka ketahui.

Ho ho ho. Aku dewa cinta. Senang rasanya bisa melihat dua anak manusia itu mulai memendam kagum satu sama lain. Mereka pasti tak akan sadar, aku telah memperhatikan keduanya dari atas sini sejak lama. Ho ho ho. Tugasku adalah menancapkan panah cinta. Panah yang bisa membuat siapa saja yang aku takdirkan untuk jatuh hati dan saling mencinta. Siapa saja. Camkan itu baik-baik, ho ho ho. Apa kau bilang? Kau merasa tak tau diri untuk mencintainya? Kau bilang kau merasa tak pantas untuk bersanding dengannya? Jangan bodoh, anak adam! Kau bukan Tuhan yang bisa memutuskan pantas atau tidaknya kalian untuk bersama. Kau juga bukan aku yang dapat mengatur pada siapa panah cinta ini kulepaskan. Enak saja! Kau hanya pelaku kehidupan di dunia. Urusan pada siapa cintamu akan berlabuh, bukanlah kuasamu. Hatimu itu terbuat dari sekumpulan darah. Ia amat lemah. Dan sangat jujur. Ia adalah satu-satunya organ dalam tubuhmu yang tak dapat berbohong. Saat panah telah kutancapkan padanya, maka kau tak akan bisa mengelak. Apalagi sekedar nego, pada siapa kau akan jatuh cinta. Siapalah dirimu bukanlah hal yang penting. Bagaimanakah hidupmu juga bukanlah inti dari sakralnya rasa cinta. Kau pasti akan terkejut, jika kau tau, bidadari yang kau bilang tak pantas kau miliki itu juga mempunyai rasa yang sama seperti yang ada dalam hatimu. Dunia ini seperti misteri, hai anak adam. Tak akan ada yang tau, akan bagaimana ia mempermainkanmu. Tak akan ada yang tau, akan seperti apa hidupmu mengalir. Kecuali Tuhanmu, dan ya, aku, penghuni khayangan, oknum yang dipercaya Tuhan untuk mempermudah hidup kalian, ho ho ho. Sudahlah, kau terima saja takdirmu itu. Terimalah dengan bahagia perasaan bahagia yang Tuhanmu titipkan untukmu. Jangan pernah sekalipun kau merasa tak pantas diri. Kau hanya perlu buktikan! Bahwa hasutan dari otakmu itu salah besar. Dan sampaikan salamku pada hasutan dari otakmu itu, katakan padanya, tak akan ada yang bisa melawanku, melawan takdir jika panah cinta telah kulepaskan. Karena tak akan ada yang salah dalam mencintai. Siapapun dirimu, siapapun dirinya. Tak akan ada yang bisa menghalangi, jika cinta sudah merekah. Dan kau tak perlu membodohi diri sendiri. Kejarlah ia! Dapatkan hatinya! Jika kau memang cinta. Persetan dengan siapa dirimu dan siapa dirinya, itu. Ingat ucapanku ini, hai anak adam! Ho ho ho.

Ia bersiap dengan panah cintanya. Sepasang panah ia siapkan. Untuk sepasang hati yang sedang merekah di bawah sana. Ketika takdir telah bercerita, cinta mengalun indah. Dan ketika itu pula, panah cinta dilepaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar