Putri
Aku belum pernah melihat pria ini. Mungkin ini
kali pertama ia datang ke panti ini. Ah, apa hanya aku saja yang melewatkannya
selama ini?
Panti asuhan ini sudah seperti rumah keduaku.
Sejak duduk di bangku SMA aku sudah gemar turun tangan dalam kegiatan-kegiatan
sosial. Bagiku, menolong atau sekedar menghibur mereka yang tidak seberuntung
orang kebanyakan adalah hal yang menyenangkan. Dan panti asuhan ini adalah
salah satu tempatku memperoleh kesenangan itu. Aku amat menyukai anak kecil.
Bagiku, mereka benar-benar seperti malaikat tak berdosa dengan segala tingkah
lucunya. Melihat mereka bersedih karena harus kehilangan kedua orang tuanya
adalah hal yang menyakitkan untukku. Membuatku selalu merasa wajib bersyukur
karena dilahirkan di keluarga yag harmonis dan masih dapat memeluk kedua orang
tuaku erat. Ada hal yang tak dapat kujelaskan, yang membuatku merasa harus
menolong atau sekedar berbagi canda dan tawa bersama mereka.
Biasanya, kuhabiskan waktu akhir pekanku di
panti ini. Mengingat kegiatanku sebagai mahasiswa tingkat akhir, dengan segala
jurnal dan tuntutan menyelesaikan studi tepat waktu, membuatku agak kesulitan
untuk berkunjung ke panti ini setiap hari. Disini, aku dapat melakukan banyak
hal. Membantu Ibu Maryam menyiapkan makan untuk anak-anak. Membantu Pak Soleh
membersihkan taman tempat bermain anak-anak. Dan yang utama, mengajari
anak-anak mengaji atau belajar materi sekolah mereka setiap selepas Ashar.
Ada pemandangan baru yang kutemukan hari ini.
Ada seorang pria yang berkunjung ke panti ini. Anehnya, aku tak mengenalnya.
Padahal, anak-anak begitu akrab dengannya. Anak-anak juga bercerita bahwa Kak
Arman (sapaan mereka kepada pria ini) sering berkunjung ke panti ini. Aneh.
Bagaimana bisa aku tak mengenalinya?
Ada lagi hal aneh yang kulihat dari dirinya.
Ia tampak semrawut. Dandanannya cukup nyentrik. Dari gayanya, sepertinya ia
bukan mahasiswa. Ia tampil seperti penyanyi rock yang sering kutemukan di layar
kaca. Pakaiannya serba hitam. Dengan rompi berbahan kulit yang juga sudah
usang. Ia menutupi kepalanya dengan topi yang dipakai berputar ke belakang. Ia
datang dengan gitarnya. Banyak tempelan berbagai macam bentuk dan tulisan yang
memenuhi badan gitarnya. Ia benar-benar tampak nyentrik. Dan bagaimana bisa
pria nyentrik seperti ini aku temukan begitu akrab dengan anak-anak di panti
asuhan ini?
Usut punya usut, ternyata namanya memang benar
Arman. Ia adalah seniman jalanan yang memang rutin datang ke panti ini untuk
menghibur anak-anak. Ibu Maryam yang bercerita kepadaku, saat menemukanku sedang
diam-diam memperhatikan pria itu dari kejauhan.
Katanya, Arman seumuran denganku. Ia kerap berkunjung ke panti ini di
hari-hari kerja, hari yang tak mungkin bisa kuluangkan waktuku untuk berkunjung
ke sini. Pantas saja, aku belum pernah melihatnya.
Ibu Maryam bercerita banyak tentang Arman.
Katanya, walau ia pria jalanan, ia sangat mencintai anak-anak. Terlebih lagi,
ia juga kerap turun dalam aksi sosial, membantu mereka yang kesulitan. Padahal,
ia sendiri bukan orang yang tak butuh bantuan. Tapi ia selalu menolak untuk
dikasihani. Katanya, pria itu dilahirkan untuk membantu, bukan dikasihani.
Katanya, ia akan mampu bertahan hidup dengan membantu orang lain. Sungguh,
mendengar cerita dari Ibu Maryam ini membuatku semakin penasaran dengan pria
ini.
Aku hidup di lingkungan sosial yang cukup
hangat. Aku sering terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan sosial. Tapi aku
tak pernah menemukan pria sepertinya. Yang rela bersusah payah membantu orang
lain, bahkan dalam kondisinya yang juga butuh bantuan. Kata Ibu Maryam,
walaupun ia bukan kaum intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi, Arman
adalah pria yang cerdas. Ia memiliki karakter pribadi yang kuat, yang mungkin
tidak semua kaum intelektual itu miliki karena sudah terlalu muak dengan
fananya kehidupan. Tapi Arman berbeda, baginya, kesejahteraan orang-orang di
sekelilingnya jauh lebih penting dari apapun.
Setelah mendengar cerita panjang Ibu Maryam
tentang sosok pria ini, aku menemukan diriku diselimuti rasa kagum padanya.
Sosok yang belum pernah aku temui sebelumnya. Diam-diam, aku masih
memperhatikan dari jauh. Dan mulai larut, dengan senyum merekah di bibir, tanpa
kusadari.
Ketika mata ini tak lepas memperhatikannya
dari jauh. Sepasang mata yang dimiliki tubuh yang sedang kuperhatikan itu
menoleh ke arahku. Tersenyum. Hangat
sekali. Dan, oh tidak. Ia berjalan ke arahku.
Aku..aaa...ini...harus bagaimana.
Aku salah tingkah.
**
Arman
Rasanya, ada yang memperhatikanku dari jauh
sedari tadi. Sebagai seorang perasa yang normal, aku dapat merasakan
gerak-gerikku diperhatikan orang lain. Tapi, siapa?
Aku sudah hampir satu jam berada di ruangan
bermain ini. Dengan gitar yang selalu menemani langkahku mencari sesuap nasi
ini, aku memainkan beberapa lagu kesukaan mereka, anak-anak panti yang sedari
tadi riang berdendang bersamaku. Aku memang mencintai anak-anak. Mereka sangat
polos dan tidak berdosa. Mereka tidak boleh tersakiti. Hatinya masih terlalu
putih untuk kelamnya kehidupan yang sesungguhnya. Terlebih, aku juga mencintai orang-orang
di sekelilingku seperti aku mencintai diriku sendiri. Rasanya tak tega bila
tetap diam saat melihat di sekitarku ada yang sedang kesulitan. Tidak, aku
bukannnya sombong. Aku memang masih sangat membutuhkan bantuan untuk bertahan
hidup. Membantu sesama dalam keadaanmu yang lapang adalah kewajiban, tapi
membantu sesama ketika kau sedang dalam kesempitan, aku rasa itu lebih mulia.
Keadaanku yang menyedihkan ini yang mungkin
mendorongku untuk lebih mencintai sesama. Aku sebatang kara hidup di jalanan.
Jangan tanya, kemana keluargaku. Aku bahkan tak mengenal mereka. Jangan tanya
juga, tamatkah sekolahku. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku masuk ke
dalam ruang kelas. Rasanya itu sudah belasan tahun lalu. Ketika keluarga
cendana yang cemerlang itu masih menguasai tanah air ini, aku terakhir kali menerima
rapor nilaiku kelas 5 SD. Ya, beruntungnya aku masih bisa membaca dan menulis.
Ditambah lagi, aku termasuk orang yang mudah bergaul. Temanku cukup banyak. Dan
dari mereka semua aku juga belajar ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Jadi ya, setidaknya
aku masih tau perkembangan dunia, tidak bodoh betul sepertinya. Hehehe.
Aku kembali memutar pandanganku ke seluruh
penjuru ruangan untuk menemukan sesosok mata yang sedari tadi menghujaniku
dengan tatapannya.
Ah, dia? Gadis dengan kemeja bunga berwarna
hijau tosca itu? Apa yang dia perhatikan sejak tadi?
Aku penasaran. Baiknya, kutanyakan saja
langsung padanya.
Aku pun mengumbar senyum dan mulai melangkah
ke arahnya yang sedang duduk di salah satu pojok ruang ini.
Ia yang menyadari bahwa aku memergokinya
tampak mulai mengatur posisi duduknya. Ia tampak salah tingkah. Dengan wajah
memerah, ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya, sembari sesekali
menggaruk bagian belakang kepalanya yang kuyakin betul tidaklah benar-benar terasa
gatal.
Lucunya gadis ini.
Tapi tunggu, siapa dia? Ah, apa jangan-jangan
dia adalah gadis yang kerap Ibu Maryam ceritakan padaku? Mahasiswi yang kerap
membantu di panti asuhan ini?
“Assalamualaikum.” aku mengulum senyum. “Boleh
duduk disini?”
“Wa..walaikumsalam.. eh, iya, hmm boleh..”
wajahnya masih memerah ketika ia mendongakkan kepalanya ke arahku. Dengan jarak
sedekat ini, senyumnya manis bukan main.
“Apa aku hanya kegeeran atau emang dari tadi
kamu merhatiin aku, ya?” entah mengapa bagaimana bisa aku begitu percaya diri melontarkan
pertanyaan itu pada gadis manis ini. Bodohnya. Sekarang, aku yang salah
tingkah.
“Hahaha instingmu kuat juga ya. Sedang asyik
memainkan gitarmu itu, masih bisa juga menangkap basah aku disini.” syukurlah,
sepertinya gadis ini cukup ramah. “Tadi, Ibu Maryam bercerita banyak tentang
dirimu.” lanjutnya.
“Biar kutebak, kamu yang namanya Putri?”
“Dari mana bisa tau?” dahinya berkerut.
“Oh, ternyata benar. Seorang mahasiswi yang
kerap membantu Bu Maryam dan Pak Soleh di panti ini, kan? Kenalkan, aku...”
“Arman, kan?” ia menoleh ke arahku, membiarkan
sorotan matanya yang tajam menghujamku tepat di retina mataku. Aku harus
mengakui satu hal lagi. Matanya, aduhai, indah nian. Hitam pekat. Tatapan
seorang pemberani.
“Hahaha, aku lupa, Ibu Maryam pasti sudah
banyak bercerita tentangku, ya?” tanyaku. Sedikit salah tingkah.
“Jadi, kita sudah berkenalan nih? Lewat bu
Maryam?” giliran ia yang menggodaku. Tak usah kau goda, nona manis, aku sudah
tergoda olehmu sejak kau ulum senyum manis dan kau pancarkan sinar matamu yang
tajam itu.
Kami tertawa bersama. Tawa Putri terdengar
amat merdu di telingaku. Dan tawaku pun belum pernah seringan ini. Aku tidak
pernah merasa senyaman ini berada di samping seorang wanita sebelumnya. Ah,
gila. Rasanya belum ada 10 menit aku di sampingnya. Mungkinkah aku jatuh hati?
Pada pandangan pertama? Tapi, siapalah aku ini? Aku hanya seorang pengamen
jalanan. Aku mana pantas bersanding dengan gadis ini. Ia yang berpendidikan
tinggi, mana sudi menerima cintaku yang tak tau diri ini. Modalku, hanyalah
keberanian dan harapan yang besar untuk berbagi kebaikan bersamanya, bolehkah
aku jatuh cinta padanya?
***
Senyum
menjulang. Dari atas sini. Dari sosok yang sejak lama memperhatikan keduanya.
Tanpa mereka ketahui.
“Ho ho
ho. Aku dewa cinta. Senang rasanya bisa melihat dua anak manusia itu mulai
memendam kagum satu sama lain. Mereka pasti tak akan sadar, aku telah
memperhatikan keduanya dari atas sini sejak lama. Ho ho ho. Tugasku adalah
menancapkan panah cinta. Panah yang bisa membuat siapa saja yang aku takdirkan
untuk jatuh hati dan saling mencinta. Siapa saja. Camkan itu baik-baik, ho ho
ho. Apa kau bilang? Kau merasa tak tau diri untuk mencintainya? Kau bilang kau
merasa tak pantas untuk bersanding dengannya? Jangan bodoh, anak adam! Kau
bukan Tuhan yang bisa memutuskan pantas atau tidaknya kalian untuk bersama. Kau
juga bukan aku yang dapat mengatur pada siapa panah cinta ini kulepaskan. Enak
saja! Kau hanya pelaku kehidupan di dunia. Urusan pada siapa cintamu akan
berlabuh, bukanlah kuasamu. Hatimu itu terbuat dari sekumpulan darah. Ia amat
lemah. Dan sangat jujur. Ia adalah satu-satunya organ dalam tubuhmu yang tak
dapat berbohong. Saat panah telah kutancapkan padanya, maka kau tak akan bisa
mengelak. Apalagi sekedar nego, pada siapa kau akan jatuh cinta. Siapalah
dirimu bukanlah hal yang penting. Bagaimanakah hidupmu juga bukanlah inti dari
sakralnya rasa cinta. Kau pasti akan terkejut, jika kau tau, bidadari yang kau
bilang tak pantas kau miliki itu juga mempunyai rasa yang sama seperti yang ada
dalam hatimu. Dunia ini seperti misteri, hai anak adam. Tak akan ada yang tau,
akan bagaimana ia mempermainkanmu. Tak akan ada yang tau, akan seperti apa
hidupmu mengalir. Kecuali Tuhanmu, dan ya, aku, penghuni khayangan, oknum yang
dipercaya Tuhan untuk mempermudah hidup kalian, ho ho ho. Sudahlah, kau terima
saja takdirmu itu. Terimalah dengan bahagia perasaan bahagia yang Tuhanmu
titipkan untukmu. Jangan pernah sekalipun kau merasa tak pantas diri. Kau hanya
perlu buktikan! Bahwa hasutan dari otakmu itu salah besar. Dan sampaikan
salamku pada hasutan dari otakmu itu, katakan padanya, tak akan ada yang bisa
melawanku, melawan takdir jika panah cinta telah kulepaskan. Karena tak akan
ada yang salah dalam mencintai. Siapapun dirimu, siapapun dirinya. Tak akan ada
yang bisa menghalangi, jika cinta sudah merekah. Dan kau tak perlu membodohi
diri sendiri. Kejarlah ia! Dapatkan hatinya! Jika kau memang cinta. Persetan
dengan siapa dirimu dan siapa dirinya, itu. Ingat ucapanku ini, hai anak adam!
Ho ho ho.”
Ia
bersiap dengan panah cintanya. Sepasang panah ia siapkan. Untuk sepasang hati
yang sedang merekah di bawah sana. Ketika takdir telah bercerita, cinta
mengalun indah. Dan ketika itu pula, panah cinta dilepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar