Rabu, 30 April 2014

#FF2in1 : I Prove It

Sampai kapan aku akan terus disini? Bersembunyi di balik pagi, menghitam karena tak berani menantangnya? Sampai kapan aku terus begini? Bersembunyi dalam sunyi, berusaha menutupi seperti pengecut?
Tak pernah berhenti aku memaki diriku sendiri. Atas kebodohan yang telah kulakukan. Atas hal sia-sia yang selalu mengganjal hidupku. Iya, aku menyesal. Amat menyesal.
Jika saja aku punya sedikit lebih banyak nyali untuk ungkapkan semuanya. Jika saja aku punya sedikit keberanian untuk menatap matamu.
Ah, mata itu. Mengapa ia begitu menyiksaku? Sepasang bola mata hitam pekat yang selalu menatap tajam apapun yang ia lihat. Sepasang bola mata yang akan membuat siapa saja yang bertatapan dengannya mengakui keindahannya. Sepasang bola mata yang membuat hati ini takluk, menuntun rasa itu untuk terus turun memasuki relung-relungnnya.
Aku tak pernah sanggup menatapnya. Karena hal itu sama saja dengan menghujani hatiku dengan rasa kagum padanya. Semakin lama aku menatap mata itu, semakin jatuh hati aku dibuatnya. Semakin lama berhadapan dengannya, semakin takluk hati ini di hadapannya.
Itulah alasan, mengapa aku tak pernah sanggup mengungkapkan semuanya. Karena aku tak pernah cukup sanggup  berlama-lama berhadapan dengannya. Untuk seorang pria berumur 21 tahun, aku memang payah. Ya, silahkan. Silahkan sebut aku pecundang.
Tapi kali ini, semua sudah berbeda. Aku harus bisa berhadapan dengannya. Aku harus bisa menatapnya agar ia tahu apa yang ada dalam hati ini. Setidaknya, untuk beberapa menit saja. Setidaknya, untuk kesempatan terakhirku ini.

“Selamat ya, Nova. Aku turut bahagia atas pernikahanmu.” Berhasil. Aku berhasil menatap matanya. Di atas pelaminannya. Di samping pria yang sudah berhasil mendapatkannya.

Life is too short to keep some important words like ‘i love you’. Yeah, i prove it.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter

#FF2in1 : Rasa Itu

Aku tak akan pernah lupa paras itu. Wajah teduh yang selalu menemani hari-hariku. Aku tak akan pernah lupa rona itu. Rona ketika kau tertawa, hingga meranum wajahmu. Aku tak akan pernah lupa suara itu. Suara seorang gadis kecil, agak cempreng, namun selalu renyah di telingaku. Aku tak akan pernah lupa kamu.
Masih kuingat dengan jelas hari itu. Hari dimana aku melihatmu menangis di dalam mobil, di pangkuan ibundamu, dan ayahmu yang melajukan mobil itu meninggalkan halaman rumahku. Aku tak akan pernah lupa...
Di balik dinding ruang tamu rumahku ini aku bersembunyi, mencoba mencuri dengar apa yang sedang para orang tua itu bicarakan. Ah, iya. Aku ingat, saat itu kau berada di pelukan ibumu. Kau menangis. Dan aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Jadi harus pergi sekarang ya, Mbak Yu ?” itu suara ibuku.
“Iya, Mbak. Mendadak aku dapat kabar dari kampung, ibu sudah sakit parah, aku gak bisa nunda lagi kepindahan kami, Mbak.” itu suara ibumu, rona wajahnya amat haru.
“Betul, Mbak. Maka dari itu kami ingin pamitan. Mudah-mudahan silaturahmi kita dapat selalu terhubung ya, Mbak.” kali ini ayahmu bersuara.
“Tapi, bagaimana dengan Hanum? Sepertinya dia amat terpukul. Kasihan kalau sampai anakmu ini shock dengan kepindahan kalian yang mendadak ini.. Raka juga pasti sedih kehilangan teman bermainnya.”
“Iya, Mbak. Dari pagi tadi Hanum mogok makan. Aku juga bingung, Mbak, tapi kepindahan kami benar-benar tidak bisa ditunda.. Nanti biar aku dan Mas Prio memberikan penjelasan pada Hanum.” ibumu tersenyum miris.
“Titip salam untuk Raka ya, Mbak. Sampaikan bahwa Hanum juga amat sedih harus meninggalkan abangnya itu..” ayahmu menambahkan.
Raka kecil masih tidak terlalu paham apa yang orang-orang dewasa itu bicarakan. Pindah? Siapa yang mau pindah? Kenapa Hanum menangis? Ah, aku benci melihat Hanum menangis.
Setelah kedua orang tuamu meninggalkan ruang tamu rumahku, ibu menghampiriku. Ia terkejut karena mendapatiku yang sedang merapat di balik dinding ruang tamu. Ibu menjelaskan semuanya. Dan aku jadi paham. Aku berlari sekuat tenaga. Mendobrak pintu ruang tamu rumahku. Berusaha mengejar mobil ayahmu yang siap tancap gas. Aku dapat melihatmu sedang menatapku dengan air mata di kedua pipi merahmu. Jangan menangis, Hanum. Kau pernah berjanji padaku untuk tidak akan menangis, ketika aku menolongmu terjatuh dari sepedamu tempo hari. Aku benci melihatmu menangis.
Aku terus berlari. Kupanggil namamu kencang-kencang. Berharap semua yang kulakukan ini dapat menghentikan laju mobil ayahmu, dan mengembalikanmu padaku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Rasanya begitu sakit melihat mobilmu meninggalkan jalanan ini.. Aku benci rasa itu.
Dan pagi ini. Aku benci pagi ini. Aku benci karena rasa itu datang lagi. Aku benci, Hanum, aku benci semua ini.

“Kuatkan dirimu, Raka. Hanum sudah tenang di alam sana..” ibu meraih lengan berototku, mencoba membangunkanku dari sisi Hanum. Sisi Hanum di bawah liang lahat ini.

Kau tau rasanya? Ditinggalkanmu ke kota lain saja sudah membuatku sakit. Lantas, bagaimana pagi ini? Aku benci rasa kehilangan ini.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter

Hari Ke 150

Ketika semua orang menginginkan kemudahan, aku tidak ingin menjadi mudah bagimu. Karena ketika kau mendapatkanku dengan mudah, semudah itu pula kau akan melepaskanku. Dan kau tahu? Sejujurnya, aku tak ingin kau lepaskan.

Jadi, disinilah kita berada sekarang. Di hari ke 150 kau mendekatiku. Di hari ke 150 kau selalu berusaha mencuri hatiku. Di hari ke 150 kau senantiasa ada untukku, demi luluhkan hati ini.

Kau tahu? Kau cukup bodoh, sayang.
Kau tak tahu, bahkan aku telah jatuh hati padamu di pertemuan pertama kita. Kau tak tahu, bahkan hati ini telah menjadi milikmu jauh sebelum kau mencoba untuk mencurinya. Kau tak akan pernah tahu. Aku bahkan menulis rapih semua hal yang pernah kau lakukan untukku. Sejak pertama kau memperhatikanku. Sejak pertama kau mendekatkan dirimu padaku. Kutulis semuanya. Rapih. Indah. Dan tak ada yang terlewatkan.

Ketika kau mencoba mendapatkan nomer ponselku. Ketika kau menaruh bingkisan istimewa di loker sekolahku. Ketika akhirnya kau menghampiriku di pinggir lapangan basket sekolah kita. Ketika kau dengan senyum manismu selalu setia menungguku di selasar menuju kelas kita. Ketika pesan dan suaramu di telepon menjadi bagian rutinitasku sehari-hari.
Ketika itu semua terjadi, kau tak akan tahu, bahwa aku benar-benar mengingatnya dengan baik. Ketika itu semua terjadi, kau tak akan tahu, bahwa aku amat bahagia karena aku pun memiliki rasa yang sama. Ketika itu semua terjadi, kau tak akan tahu, bahwa semua seperti mimpi indah yang menjadi nyata bagiku. Iya. Kau tidak tahu. Karena kau pasti tak menyangka, bahwa kau tidak jatuh cinta sendirian, bahwa aku pun telah menyukaimu, mungkin bahkan sebelum kau dapat merasakannya.

Kau tidak tahu semua itu. Karena aku yang sengaja merahasiakannya, sayang. Karena rasa yang mendalam ini, aku enggan menjadi mudah untukmu. Iya, sayang. Itu alasan, mengapa kerap kuacuhkan pesan dan teleponmu. Bisa kau bayangkan bagaimana sulitnya menahan candumu itu? Itu juga alasan, mengapa aku tak selalu mengiyakan ajakan kencanmu. Padahal, setelah menolaknya aku bisa mengurung diri seharian di kamar, hanya untuk merutuki sikapku padamu.

Biarlah. Biar dunia tertawakanku karena bersikap senaif ini. Biarlah dunia mencaciku atas sikap munafikku selama ini padamu.

Aku hanya ingin kau berusaha. Memiliki rasa yang sama seperti yang kau tunjukkan, membuatku enggan untuk begitu saja mempercayaimu. Aku hanya ingin memastikan. Apa yang kau lakukan untukku ini bukanlah sementara. Apa yang kau berikan padaku ini bukanlah pemenuhan obsesimu semata. Karena aku amat mencintaimu, biarkanlah aku untuk meyakinkan diri ini terlebih dahulu. Semoga kau mengeri, sayang.

Dan kini, tepat di hari ke 150 kau mendekatiku, akhirnya kau katakan itu semua.
Semua kata-kata yag ingin kudengar dari mulutmu. Semua hal yang kunantikan selama ini. Semua mimpi yang kukira hanya akan ada di dalam tidurku.

Perihal yang membuatku menyerah. Hal yang membuat egoku harus mengalah, dan mengakui kuasa cinta. Inilah saatnya. Saatnya kuberikan kemudahan untukmu. Dengan satu janji, tentunya. Jangan pernah lepaskan aku, semudah atau sesulit apapun kau mendapatkanku kini. Janji, sayang?

“Iya, aku mau jadi pacar kamu, Bi.” Jawab Shinta dengan wajah meranum, kepada Abi, pencuri hatinya.



Selasa, 29 April 2014

Orang Bahagia No.1

Andai aku punya sejuta cara jitu
Untuk membuatmu menyayangiku
Andai aku punya segenap pesona indah Cleopatra
Untuk membuatmu memperhatikanku
Andai aku punya beribu alasan naif
Untuk membuatmu menyebut namaku
Andai aku punya ratusan meriam siap meledak
Untuk membuatmu menoleh padaku
AH!
Mengapa kau begitu sulit untuk kuraih?
Mengapa kau begitu fana untuk kumiliki?
Jika mendapatkanmu semudah mengerjakan soal 1+1=2
Pastilah aku orang bahagia no. 1!

17-10-2008

Membaca kalimat-kalimat di atas agak menggelitik perut saya. Sedikit cerita tentang puisi di atas. Puisi ini saya temukan ketika kehabisan ide untuk menulis sesuatu di blog ini. Puisi ini saya temukan dari file kertas-kertas puisi jaman SMA saya dulu, yang masih saya simpan rapih sampai saat ini. Puisi ini saya buat ketika baru saja memasuki dunia SMA, semester pertama di kelas pertama bangku SMA. Ia menjadi halaman pertama di buku puisi yang saya gunakan untuk menulisnya. Seperti kebanyakan abg pada umumnya, masa-masa baru memasuki dunia SMA adalah masa-masa merah jambu. Tebar pesona sana-sini. Lirik sana-sini. Begitu pun yang terjadi dengan saya kala itu, hehehe.
Saya ingat betul, puisi ini saya tulis ketika saya sedang jatuh cinta pada seseorang yang baru saja saya kenal. Ia mungkin menjadi pria 'dingin' pertama yang saya kagumi. Ah iya juga, jangan-jangan kecintaan saya melihat pria yang 'dingin' (cool-cool gimana gitu, heheh) saat ini bermula ketika itu. Hahaha. Peringainya yang dingin. Acuh tak acuh. Tidak banyak bicara namun mempesona. Begitu mampu menarik perhatian saya.
Sayangnya, mendapat perhatian darinya menjadi hal yang sukar saya raih. Ia begitu diidolakan banyak teman-teman wanita saya lainnya. Wajar. Saya tidak punya apa-apa yang bisa membuatnya menoleh pada saya. Hingga terciptalah puisi ini. Saya bersyukur, walau ia tak pernah tau bahwa tidak hanya satu puisi yang saya tulis untuknya, setidaknya, mengenalnya membuat saya lebih kreatif untuk menulis puisi. Hehehe.
Selamat menikmati. Doakan saya untuk lebih produktif lagi dalam menulis. Itu mimpi saya!
Sayonara! :)

Jumat, 25 April 2014

#CCK - Mareta Diandra Rachmadani - Dari Balik Topeng Kelana - Cirebon (2012)

Cerpen ini dibuat untuk mengikuti lomba penulisan cerpen 'Cerita Cinta Kota' pada tahun 2012 yang diadakan oleh Plot Point Kreatif bersama Dwitasari.
Sayang, belum rejeki untuk menang, hehehe :p
Silahkan klik disini :)

Untitled

Sudah lama aku tak menyapa mentari
Untuk bertanya apa kabar ia disana
Sudah lama aku tak menyentuh pelangi
Untuk memastikan apakah kau tetap menungguku

Aku masih disini
Di antara puing dan beling
Di antara hujan dan petir
Di antara serpihan yang pernah kau tinggalkan

Sudah lama tak bertemu mentari dan pelangi
Bukan berarti tak indah hari yang kulalui
Bukan berarti tak berwarna hati yang kumiliki
Kau tau itu kan ?

Aku masih disini
Di antara pagi dan embun
Di antara senja dan jingga
Di antara malam dan deru dinding

Aku disini
Menanti datangnya mentari
Menanti tibanya pelangi
Seperti yang pernah terjadi

Aku disini
Bahagia
Walau belum tiba saatnya datang
Walau belum sampai pada masaku lagi

Aku bahagia
Walau ia belum datang, bersama mentari dan pelanginya..

Senja dan Jingga

Saat senja menyelimutiku
Kau tak akan tahu betapa bayangmu tak luput dari kepalaku
Saat jingga membalutku
Kau tak akan tahu betapa namamu selalu hadir di memoriku
Janganlah kau ganggu senja yang teduh ini
Karena kau tak akan mengulangnya kembali
Jangan pula kau renggut jingga darinya
Karena kau tak akan tahu apa yang akan terjadi lagi
Seperti jingga yang tak pernah tahu mengapa ia harus hadir saat senja
Mungkin, seperti itulah aku
Yang tak pernah tahu mengapa aku harus hadir padamu
Biarkan jingga selalu berada pada senja
Biarkan pula aku selalu ada untukmu
Karena seabadi jingga di kala senja

Mungkin, seabadi itu pula rasa ini di hatiku



Kutipan puisi dari cerpen "Dari Balik Topeng Kelana"
oleh Mareta Diandra Rachmadani (2012)

Fatamorganaku

Kau bagai fatamorgana bagiku
Indah untuk dilihat namun sukar untuk kugenggam
Menyayangimu,
sama seperti pungguk merindukan bulan
Menyukaimu,
bagaikan meminta hujan di teriknya siang
Memandangmu,
seolah menemukan danau di padang pasir
Memikirkanmu,
adalah permintaan egoku

Sejauh itukah dirimu ?
Aku tak tahu
Yang aku tahu,
kau adalah fatamorganaku ...


21 Oktober 2008
(((masih))) Di tahun pertama berseragam putih abu-abu

Cara Kerja Cinta Buta

Perasaan itu datang dari retina mataku
Dan membutakanku akan hitammu
Lalu turun merayapi kerongkongan
Dan menyumbat semua saluran duniaku
Terus merangsang kedua gendang telingaku
Dan menulikanku akan semua belangmu
Turun jauh ke dasar lubuk hati
Dan menebar rasa indah tak terbendung
Kembali menyerang otakku yang rumit
Dan merusak sistem kerjanya yang konkrit
Dengan aman, rasa itu mampu mengharubirukan hati ini

Begitulah cara kerjanya
Inilah cinta buta
Inilah cinta butaku, karenamu


03 November 2008
Di tahun pertama berseragam putih abu-abu

Perkenalkan!

Selamat pagi dunia!

Perkenalkan, saya seorang penari jemari ulung yang mencoba melantunkan bait-bait cerita dunia. Bukan sesuatu yang sempurna karena bagi saya menulis adalah candu. Bukan sesuatu yang berarti karena semua tarian-tarian ini hanyalah sesuatu yang coba diungkapkan hati.

Menulis sejak masih amat kecil. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, ketika tulisan saya sudah dapat dibaca dengan baik (maklum, tulisan waktu masih anak-anak kan agak absurd hehe), ibu saya dengan semangatnya selalu mengajak dan mengajarkan saya untuk tidak berhenti menulis. Dimulai dari menulis surat untuk idola di ibukota sana, hingga dorongan ibu untuk saya menambah teman lewat sahabat pena. Ajaib, belajar merangkai kata-kata lewat surat ternyata menjadi awal saya untuk menyukai kegiatan menulis. Sejak saat itu, merangkai kata-kata menjadi kegiatan yang menyenangkan. Terima kasih, Mah :D

Beranjak usia saya, berkembang pula pemikiran saya tentang ide-ide tulisan. Saat smp, kerap mengikuti lomba cerpen. Tak sedikit, ide-ide itu berbuah sebuah tulisan yang saya tulis di secarik kertas. Sayangnya, jaman belum sehebat hari ini, semua arsip kertas tulisan itu kini entah sudah berada dimana. Memasuki dunia remaja, keinginan merangkai kata-kata itu kian membara. Kini, sasarannya adalah puisi. Hampir setiap malam (apalagi kalau sedang galau :p), lantunan kata-kata berima terlahir menjadi bait-bait puisi. Hingga saat ini, puisi menjadi anak emas saya dalam dunia tulisan. Dan saya bersyukur, karena arsip kertas-kertas puisi itu masih tersimpan rapih di file meja belajar ini, lengkap dengan puluhan kisah yang ada di dalamnya.

Sempat tertutupi oleh sibuknya dunia sekolah hingga kini di perkuliahan membuat passion saya tentang menulis sedikit berkurang. Ah, tidak. Bukan berkurang. Passion itu masih sebesar dulu. Hanya saja, terbaginya waktu untuk hal ini dan itu membuat saya kesulitan meluangkan waktu untuk membuat sebuah tulisan.

Kini, saya juga sedang menyusun sebuah tulisan ilmiah, yang kata orang adalah salah satu bagian krusial dalam hidup seorang manusia, skripsi. Tapi entah dorongan dari mana, hal itu tidak menjadi beban bagi saya untuk membangkitkan lagi motivasi saya di dunia tulis-menulis. Justru saya merasa tertantang, bukan hanya skripsi yang bisa menjadi jejak hidup saya, tapi juga tarian-tarian jemari ini.

Mohon koreksi jika ada kekurangan. Mohon bantuan dan dukungan karena saya amat butuh hal itu. Semoga membuka laman ini tidak membuat anda menyesal. Semoga membaca tarian-tarian saya disini bisa sedikit menyenangkan hati anda. Terima kasih :)


Salam hangat.