Adalah Sekar, sahabat terbaik yang pernah kami dekap. Iya, pernah. Kami sudah bersahabat sejak berseragam putih abu-abu, sampai kini kami bekerja untuk beberapa perusahaan berbeda. Tapi, sudah sejak beberapa bulan lalu ia tak ingin kami hubungi. Masalahnya sepele sebenarnya, ia benci pada janji yang kami buat sendiri. Setamatnya SMA dulu, kami berjanji untuk tetap menyempatkan waktu setidaknya satu hari per dua minggu untuk menghabiskan waktu bersama. Ide itu meluncur dari otak encer insinyur kesayangan kami, Lola. Aku, Rima dan Sekar pun setuju akan hal itu. Ide itu berjalan lancar dan baik-baik saja, sampai pada suatu pekan, Sekar tampak dibuat pusing oleh beberapa hal dalam hidupnya. Rima yang memang kekanak-kanakan dan cuek dalam hal berkata-kata, tanpa sengaja membuat Sekar geram. Entah setan mana yang sedang menghantui Sekar, ia begitu emosional, memaki-maki kami bertiga, mengatakan hal yang tak seharusnya terucap, bahkan memutuskan telepon tanpa sempat kami menjelaskan kesalahpahaman tersebut.
Sekarang, tinggallah kami bertiga, duduk di pojok kesayangan salah satu cafe favorit, tempat biasa kami memangkas rindu bercengkrama.
"Ngelamun aja, Non.." Lola menyadarkanku dari lamunan tentang Sekar.
"Eh hahaha iya nih..." aku memberi jeda. "Sekar, hmmm, dia masih marah sama kita ya?"
"Kangen, ya.." Rima menambahkan. Seketika suasana membiru. Kami sungguh kehilangan Sekar.
Selalu berempat, kemana pun, dimana pun, membicarakan hal apapun, berbagi keluh kesah, cerita, bahagia, sendu sedan, semuanya. Dan kini kami harus berjalan pincang tanpanya? Rumah tidak akan benar-benar menjadi rumah ketika salah satu penghuninya pergi, bukan?
Kami larut dalam rindu pada Sekar. Diiringi alunan piano sendu dari speaker di sudut cafe ini.
"Gue boleh gabung?"
Suara itu.
Kami menoleh pada sumber suara itu. Sekar.
Suasana menjadi riuh. Kami beranjak dari sofa empuk ini. Melonjak ke arah Sekar. Menghampirinya dengan pelukan. Pelukan penuh kerinduan. Juga macam-macam pernyataan yang spontan keluar dari mulut kami. Kami tidak pernah bisa berhenti bercerita ketika bertemu. Kali ini juga hal itu yang terjadi. Air mataku menetes. Kulihat, Sekar juga menangis, dengan senyum manis yang menjuntai.
"Maafin gue, ya. Gue gak bisa lama-lama pergi dari kalian. I'm home. Gue pulang ke rumah. Masih boleh dibukain pintu kan?" Sekar terbata-bata. Tatapannya jujur. Aku tau ia tak akan bisa lebih lama lagi menjebak kami dalam situasi terburuk sepanjang masa persahabatan kami ini.
"Boleh, lah! Boleh banget. Harusssss."
"Ini rumah lo, Kar... Kita kan keluarga"
"Gak akan ada yang boleh pergi lama-lama dari rumahnya. Gak boleh."
Kami merapatkan lagi pelukan satu sama lain. Menciptakan suatu lingkaran manusia. Dengan air mata bahagia. Rindu yang tak sanggup dibendung. Dan tawa yang pada akhirnya kembali membanjir.
Benar kan apa yang kubilang? Rumah tidak akan benar-benar menjadi rumah ketika salah satu penghuninya pergi.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar