Aku sedang merapihkan isi tasku dan bersiap keluar kelas, ketika sebuah tangan menyentuh pundakku. Ketemui sepasang bola mata yang sudah lama menghiasi mimpiku setiap malam, ketika kubalikan tubuhku. Arya.
"Kenapa, Ya?" tanyaku. Aku gugup. Ia dekat sekali. Aku dapat menghirup aroma parfumnya yang sudah sangat kukenal.
"Gak apa-apa sih, Din. Gue cuma mau ngasih ini." ia menyodorkan sebuah kotak transparan dengan pita mengikatnya. Kurasa isinya coklat dengan merk favoritku. Ada secarik kertas berwarna ungu di atasnya. Ia memberiku bingkisan ini? Untuk apa?
"Gue tau lu suka banget ngemil coklat, makanya gue kadoin ini. Hehehe. Jangan dibuka sekarang. Entar aja kalo udah di rumah, ya." lanjutnya sebelum aku dapat mengeluarkan kalimat apapun. Ia tersenyum dan berlalu meninggalkanku.
"Kenapa, Ya?" tanyaku. Aku gugup. Ia dekat sekali. Aku dapat menghirup aroma parfumnya yang sudah sangat kukenal.
"Gak apa-apa sih, Din. Gue cuma mau ngasih ini." ia menyodorkan sebuah kotak transparan dengan pita mengikatnya. Kurasa isinya coklat dengan merk favoritku. Ada secarik kertas berwarna ungu di atasnya. Ia memberiku bingkisan ini? Untuk apa?
"Gue tau lu suka banget ngemil coklat, makanya gue kadoin ini. Hehehe. Jangan dibuka sekarang. Entar aja kalo udah di rumah, ya." lanjutnya sebelum aku dapat mengeluarkan kalimat apapun. Ia tersenyum dan berlalu meninggalkanku.
**
"Dinda....." suara lirih Mira terdengar dari ujung telepon genggamku. Ia tampak terisak, sementara aku masih harus mengumpulkan nyawaku di pagi sebuta ini. Sekarang hari Minggu, dan sahabat baikku yang satu ini menelponku sepagi ini? Apa yang terjadi padanya?
"Eh, hmm, Mir? Lu nangis? Kenapaaaaa?"
"Arya, Din...."
"Hah? Arya? Kenapa dia?" mendengar Mira menyebut namanya membuatku sadar sepenuhnya. Aku segera memperbaiki posisiku dari atas tempat tidur ini, agar aku dapat mendengar dengan jelas cerita yang akan Mira sampaikan. Tentang Arya, tentu saja.
"Dia nolak gue, Din... Tega banget...." terdengar isakan Mira semakin keras.
Aku? Membatu. Tak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Bukan karena bagaimana bisa Arya menolak cinta gadis paling populer di sekolah seperti Mira. Tapi karena bagaimana bisa Mira mengungkapkan cinta pada Arya. Pria yang sudah kukagumi sejak lama. Walau tak ada yang pernah tahu akan hal itu.
"Ha...h? Koo..oo...kk bi..ii...saa, Mir?" hanya itu yang mampu meluncur dari mulutku.
Dan Mira pun bercerita panjang lebar tentang kejadian semalam. Bagaimana ia, ternyata, menyukai Arya. Bagaimana ia, ternyata, mendekati Arya dengan berbagai cara, seperti mengirimkan pesan-pesan singkat, membawakan makanan kesukaannya, mencuri-curi kesempatan agar bisa berbincang dengannya, sampai menyapanya dengan berbagai alasan via media sosial. Sampai akhirnya, Mira berhasil mengajak Arya menghabiskan malam minggu bersama dan menyatakan cinta padanya. Mira bercerita, Arya dengan halus menolak permintaan Mira untuk menjadi kekasihnya, dengan alasan yang tidak dapat ia sampaikan pada Mira.
Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika Mira menceritakan semua hal itu lewat telepon genggam ini. Aku. Tidak. Percaya.
Bagaimana bisa kami tidak saling tahu bahwa kami menyukai pria yang sama?
Aku memang beberapa kali sempat mendengar cerita Mira tentang pria yang ia sukai saat ini. Tapi ia bilang ia tidak akan memberitahuku siapa orangnya, sampai ia benar-benar bisa bersamanya. Aku dan Mira memang terpisah kelas di sekolah, kegiatan dan tugas yang cukup menyita waktu di akhir periode masa sekolah kami ini memang kerap menghalangi kami untuk berjumpa atau bahkan bercerita tentang hal ini dan itu.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi.
Mengingat kami bersahabat sudah sejak berseragam putih biru. Rasanya aku hafal betul tipe pria idaman Mira. Dan tidak pernah sekalipun kami setuju pada satu penilaian tentang seorang pria. Bagaimana bisa kali ini kami kompak menyukai pria yang sama?
Dalam hati, aku terus membantah tentang apa yang terjadi pagi ini. Mimpikah ini semua? Sayangnya, tidak. Aku dapat merasakan dengan jelas, dingin air mataku mengalir menyentuh bibir yang kelu ini.
Sebelah tanganku masih menggenggam ponsel untuk mendengar suara Mira di ujung sana. Sebelah tanganku lagi mencoba membuka laci di samping tempat tidurku. Mengeluarkan sepucuk kertas berwarna ungu, warna kesukaanku. Meraba sebaris tinta hitam di atas kertas itu. Membaca dalam hati sekalimat yang tak akan dapat aku lupakan. Dan aku, menemukan hatiku luluh lantak.
"Aku menyukaimu, Dinda. Aku menyayangimu. Sangat... - Arya"
"Eh, hmm, Mir? Lu nangis? Kenapaaaaa?"
"Arya, Din...."
"Hah? Arya? Kenapa dia?" mendengar Mira menyebut namanya membuatku sadar sepenuhnya. Aku segera memperbaiki posisiku dari atas tempat tidur ini, agar aku dapat mendengar dengan jelas cerita yang akan Mira sampaikan. Tentang Arya, tentu saja.
"Dia nolak gue, Din... Tega banget...." terdengar isakan Mira semakin keras.
Aku? Membatu. Tak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Bukan karena bagaimana bisa Arya menolak cinta gadis paling populer di sekolah seperti Mira. Tapi karena bagaimana bisa Mira mengungkapkan cinta pada Arya. Pria yang sudah kukagumi sejak lama. Walau tak ada yang pernah tahu akan hal itu.
"Ha...h? Koo..oo...kk bi..ii...saa, Mir?" hanya itu yang mampu meluncur dari mulutku.
Dan Mira pun bercerita panjang lebar tentang kejadian semalam. Bagaimana ia, ternyata, menyukai Arya. Bagaimana ia, ternyata, mendekati Arya dengan berbagai cara, seperti mengirimkan pesan-pesan singkat, membawakan makanan kesukaannya, mencuri-curi kesempatan agar bisa berbincang dengannya, sampai menyapanya dengan berbagai alasan via media sosial. Sampai akhirnya, Mira berhasil mengajak Arya menghabiskan malam minggu bersama dan menyatakan cinta padanya. Mira bercerita, Arya dengan halus menolak permintaan Mira untuk menjadi kekasihnya, dengan alasan yang tidak dapat ia sampaikan pada Mira.
Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika Mira menceritakan semua hal itu lewat telepon genggam ini. Aku. Tidak. Percaya.
Bagaimana bisa kami tidak saling tahu bahwa kami menyukai pria yang sama?
Aku memang beberapa kali sempat mendengar cerita Mira tentang pria yang ia sukai saat ini. Tapi ia bilang ia tidak akan memberitahuku siapa orangnya, sampai ia benar-benar bisa bersamanya. Aku dan Mira memang terpisah kelas di sekolah, kegiatan dan tugas yang cukup menyita waktu di akhir periode masa sekolah kami ini memang kerap menghalangi kami untuk berjumpa atau bahkan bercerita tentang hal ini dan itu.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi.
Mengingat kami bersahabat sudah sejak berseragam putih biru. Rasanya aku hafal betul tipe pria idaman Mira. Dan tidak pernah sekalipun kami setuju pada satu penilaian tentang seorang pria. Bagaimana bisa kali ini kami kompak menyukai pria yang sama?
Dalam hati, aku terus membantah tentang apa yang terjadi pagi ini. Mimpikah ini semua? Sayangnya, tidak. Aku dapat merasakan dengan jelas, dingin air mataku mengalir menyentuh bibir yang kelu ini.
Sebelah tanganku masih menggenggam ponsel untuk mendengar suara Mira di ujung sana. Sebelah tanganku lagi mencoba membuka laci di samping tempat tidurku. Mengeluarkan sepucuk kertas berwarna ungu, warna kesukaanku. Meraba sebaris tinta hitam di atas kertas itu. Membaca dalam hati sekalimat yang tak akan dapat aku lupakan. Dan aku, menemukan hatiku luluh lantak.
"Aku menyukaimu, Dinda. Aku menyayangimu. Sangat... - Arya"
**
Sejak kejadian pagi itu, aku menjalani hariku dengan cukup banyak kepura-puraan. Pura-pura menenangkan Mira tentang Arya. Pura-pura baik-baik saja ketika bertemu dengan Arya, padahal bayangan Mira kerap terlintas setiap kumelihat Arya. Pura-pura tak terjadi apa-apa, sementara hatiku masih dalam kemelut besar. Aku tidak mungkin menyukai pria yang juga sahabatku sukai. Aku tidak ingin dikenang sebagai teman yang menusuk dari belakang sahabatnya sendiri. Aku tidak ingin menghancurkan persahabatanku dengan Mira. Haruskah aku mengalah? Tapi aku mencintai Arya. Mungkin jauh sebelum Mira memperhatikannya. Haruskah aku mengalah, hah?
Arya memang tidak mengubah sikap dan perhatiannya padaku. Hanya saja, ia tampak mengambil keputusan yang cukup bijaksana, untuk tidak memaksaku bersamanya, karena ia tahu betul aku tidak ingin mengkhianati sahabatku sendiri. Ia kerap menjaga jarak denganku, jika di saat itu ada Mira di sekitar kami. Kami seperti sedang bersandiwara.
Arya memang tidak mengubah sikap dan perhatiannya padaku. Hanya saja, ia tampak mengambil keputusan yang cukup bijaksana, untuk tidak memaksaku bersamanya, karena ia tahu betul aku tidak ingin mengkhianati sahabatku sendiri. Ia kerap menjaga jarak denganku, jika di saat itu ada Mira di sekitar kami. Kami seperti sedang bersandiwara.
Dan aku, hanya bisa menertawakan kisah yang cacat ini.
Benarkah tak ada kisah yang benar-benar sempurna? Mengapa setelah sekian lama aku mencari, dan ketika kumenemukan orang yang tepat, kita bahkan tidak diijinkan bersama? Haruskah kisah dua orang yang saling mencintai tidak berujung pada bahagia? Haruskah ada kecacatan dalam kisah yang nyaris sempurna ini?
Aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya semesta inginkan dariku? Menjalani kisah cacat ini?
Baiklah.
Benarkah tak ada kisah yang benar-benar sempurna? Mengapa setelah sekian lama aku mencari, dan ketika kumenemukan orang yang tepat, kita bahkan tidak diijinkan bersama? Haruskah kisah dua orang yang saling mencintai tidak berujung pada bahagia? Haruskah ada kecacatan dalam kisah yang nyaris sempurna ini?
Aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya semesta inginkan dariku? Menjalani kisah cacat ini?
Baiklah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar