Sabtu, 20 September 2014

Bagaimana Bisa?

Bagaimana bisa aku tak terbuai pada riang sapaanmu?
Bagaimana bisa aku tak tergoda pada manis senyummu?
Bagaimana bisa aku tak terhasut pada teduh tatapanmu?
Bagaimana bisa aku tak mencinta karena rayuanmu?
Bagaimana bisa aku tak merindu dengan renyah canda kita?
Bagaimana bisa aku tak mengagumi caramu mengucapkan 'dear' padaku?
Bagaimana bisa aku melupakan caramu tertawa pada candaanku yang gagal?
Bagaimana bisa aku melupakan caramu menarik urat wajahmu untuk menciptakan senyum di setiap pagiku?
Bagaimana bisa aku tak berharap akan setiap sentuhanmu, di belaian rambutku, di jemari dan kuku, di hatiku yang terdalam?
Bagaimana bisa aku tak merayu pada kokohnya dadamu yang selalu hangat untuk kupeluk?
Bagaimana bisa aku tak merona mengingat rajukanmu karena aku tidak pernah memberi tanda love pada akun sosial mediamu, manjamu yang seperti anak kecil itu?
Bagaimana bisa aku melupakan hal-hal pada dirimu, dari yang paling tersembunyi hingga yang paling dunia hafal?
Bagaimana bisa aku tak ingat janjimu untuk selalu bersamaku hingga lelah matahari bersinar?
Bagaimana bisa aku lupa janjimu untuk kita yang selamanya?

Lantas, bagaimana bisa kini kau meninggalkanku seorang diri? Bahkan tanpa kata cinta.
Bagaimana bisa?

Kamis, 04 September 2014

#FF2in1 : Penyembuh Luka

Aku tidak pernah mengerti, mengapa kau selalu ada di sampingku dan tidak pernah pergi. Bahkan ketika semua meninggalkanku. Saat itu. Aku tidak akan pernah lupa malam itu. Mereka mencemoohku dan menghinaku tanpa ampun. Mereka menyebutku tak pantas ada di sekolah elit ini. Mereka bilang aku menipu sekolah dengan beasiswa yang ayahku rancang sendiri. Lihatlah, mereka bahkan menghina ayahku? Tega. Bagaimana aku bisa lupa malam paling mengerikan dalam hidupku itu? Langitku runtuh saat itu. Tak terperi. Tak terbendung. Hatiku hancur. Luluh lantak. Aku kecewa. Benar-benar kecewa. Pada dunia. Pada rencana yang sedang Tuhan mainkan untukku. Mengapa tega sekali?Aku bahkan sempat tak ingin mempercayai orang lagi.
Tapi, kau hadir. Dengan saputangan warna biru langit. Yang kau sodorkan ketika kusedang merutuki malam itu. Di bawah sinar kuning lampu jalanan. Di sebuah trotoar pinggir jalan yang tidak terlalu ramai.
Kau mengagetkanku. Aku bahkan tak menyangka kau tahu namaku.
"Jangan terlalu diambil hati, Dewi. mereka bahkan gak kenal siapa kamu kan?"
Aku hanya bisa diam. Aku masih tidak bisa mempercayaimu kala itu.
Kau nampak dapat membaca gurat wajah tidak percayaku itu. Tapi seolah tak peduli, kau membuktikan kepedulianmu dengan mengangkat tanganku untuk kau bawa ke dalam mobilmu.
Sepanjang perjalanan kau mengantarku pulang, kau juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kau seperti ingin membiarkan diriku tenang.
Sampai pada hari-hari setelah malam itu. Kau tidak pernah pergi lagi dari sisiku. Kita berbicara semakin banyak. Kau bercerita semakin banyak. Kau mendengarkanku semakin banyak. Kita menghabiskan waktu semakin banyak.
"Kenapa kamu selalu ada disini buat aku, Di?" aku benar-benar penasaran dengan jawaban dari pertanyaan itu. Kamu seperti orang asing bagiku dulu. Tapi kini? Mungkin kau orang paling pertama yang akan menjagaku dan hatiku, dari siapapun yang ingin melukainya.
"Aku juga gak tau. Mungkin, Tuhan ingin aku jadi penyembuh lukamu.." aku selalu suka senyummu itu. Jujur.
"You did it well. Really."
Kau mendaratkan kecupan hangat di dahiku. Tetaplah disini. Jadi penyembuh lukaku.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

#FF2in1 : Pulang Ke Rumah

Adalah Sekar, sahabat terbaik yang pernah kami dekap. Iya, pernah. Kami sudah bersahabat sejak berseragam putih abu-abu, sampai kini kami bekerja untuk beberapa perusahaan berbeda. Tapi, sudah sejak beberapa bulan lalu ia tak ingin kami hubungi. Masalahnya sepele sebenarnya, ia benci pada janji yang kami buat sendiri. Setamatnya SMA dulu, kami berjanji untuk tetap menyempatkan waktu setidaknya satu hari per dua minggu untuk menghabiskan waktu bersama. Ide itu meluncur dari otak encer insinyur kesayangan kami, Lola. Aku, Rima dan Sekar pun setuju akan hal itu. Ide itu berjalan lancar dan baik-baik saja, sampai pada suatu pekan, Sekar tampak dibuat pusing oleh beberapa hal dalam hidupnya. Rima yang memang kekanak-kanakan dan cuek dalam hal berkata-kata, tanpa sengaja membuat Sekar geram. Entah setan mana yang sedang menghantui Sekar, ia begitu emosional, memaki-maki kami bertiga, mengatakan hal yang tak seharusnya terucap, bahkan memutuskan telepon tanpa sempat kami menjelaskan kesalahpahaman tersebut.
Sekarang, tinggallah kami bertiga, duduk di pojok kesayangan salah satu cafe favorit, tempat biasa kami memangkas rindu bercengkrama.
"Ngelamun aja, Non.." Lola menyadarkanku dari lamunan tentang Sekar.
"Eh hahaha iya nih..." aku memberi jeda. "Sekar, hmmm, dia masih marah sama kita ya?"
"Kangen, ya.." Rima menambahkan. Seketika suasana membiru. Kami sungguh kehilangan Sekar.
Selalu berempat, kemana pun, dimana pun, membicarakan hal apapun, berbagi keluh kesah, cerita, bahagia, sendu sedan, semuanya. Dan kini kami harus berjalan pincang tanpanya? Rumah tidak akan benar-benar menjadi rumah ketika salah satu penghuninya pergi, bukan?
Kami larut dalam rindu pada Sekar. Diiringi alunan piano sendu dari speaker di sudut cafe ini.
"Gue boleh gabung?"
Suara itu.
Kami menoleh pada sumber suara itu. Sekar.
Suasana menjadi riuh. Kami beranjak dari sofa empuk ini. Melonjak ke arah Sekar. Menghampirinya dengan pelukan. Pelukan penuh kerinduan. Juga macam-macam pernyataan yang spontan keluar dari mulut kami. Kami tidak pernah bisa berhenti bercerita ketika bertemu. Kali ini juga hal itu yang terjadi. Air mataku menetes. Kulihat, Sekar juga menangis, dengan senyum manis yang menjuntai.
"Maafin gue, ya. Gue gak bisa lama-lama pergi dari kalian. I'm home. Gue pulang ke rumah. Masih boleh dibukain pintu kan?" Sekar terbata-bata. Tatapannya jujur. Aku tau ia tak akan bisa lebih lama lagi menjebak kami dalam situasi terburuk sepanjang masa persahabatan kami ini.
"Boleh, lah! Boleh banget. Harusssss."
"Ini rumah lo, Kar... Kita kan keluarga"
"Gak akan ada yang boleh pergi lama-lama dari rumahnya. Gak boleh."
Kami merapatkan lagi pelukan satu sama lain. Menciptakan suatu lingkaran manusia. Dengan air mata bahagia. Rindu yang tak sanggup dibendung. Dan tawa yang pada akhirnya kembali membanjir.
Benar kan apa yang kubilang? Rumah tidak akan benar-benar menjadi rumah ketika salah satu penghuninya pergi.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter

Selasa, 02 September 2014

Dwilogi 'Pertemuan Kita' Antologi Flash True Story dan Puisi Terpilih


Ada kabar gembira! Bukan, bukan tentang ekstrak kulit buah manggis. Hehehe.
Sudah saya ceritakan tentang pengalaman saya mengikuti event menulis yang diadakan suatu penerbit buku online kan? Voila! This is the good news!
Buku dwilogi 'Pertemuan Kita' Antologi Flash True Story dan Puisi Terpilih sudah dapat dipesan. Pemesanan bisa dilakukan di website Mafaza Media. Atau dapat dilihat di grup Antologi Penerbit Mafaza Media di link ini. Saat ini pemesanan buku masih dalam tahap pre-order. Buku baru akan naik cetak tanggal 6 September 2014. Jadi, sering-seringlah cek halaman websitenya untuk available pemesanan.
Sekedar info, naskah flash true story milik saya diterbitkan pada buku Pertemuan Kita 1. Sisanya merupakan naskah-naskah flash true story dan puisi terpilih rekan-rekan penulis lainnya.
Order now! And i'm really appreciate for that :))))
Enjoy! Thank you sooooooooooo much :*

Senin, 01 September 2014

Kisah Cacat

Aku sedang merapihkan isi tasku dan bersiap keluar kelas, ketika sebuah tangan menyentuh pundakku. Ketemui sepasang bola mata yang sudah lama menghiasi mimpiku setiap malam, ketika kubalikan tubuhku. Arya.
"Kenapa, Ya?" tanyaku. Aku gugup. Ia dekat sekali. Aku dapat menghirup aroma parfumnya yang sudah sangat kukenal.
"Gak apa-apa sih, Din. Gue cuma mau ngasih ini." ia menyodorkan sebuah kotak transparan dengan pita mengikatnya. Kurasa isinya coklat dengan merk favoritku. Ada secarik kertas berwarna ungu di atasnya. Ia memberiku bingkisan ini? Untuk apa?
"Gue tau lu suka banget ngemil coklat, makanya gue kadoin ini. Hehehe. Jangan dibuka sekarang. Entar aja kalo udah di rumah, ya." lanjutnya sebelum aku dapat mengeluarkan kalimat apapun. Ia tersenyum dan berlalu meninggalkanku.

**

"Dinda....." suara lirih Mira terdengar dari ujung telepon genggamku. Ia tampak terisak, sementara aku masih harus mengumpulkan nyawaku di pagi sebuta ini. Sekarang hari Minggu, dan sahabat baikku yang satu ini menelponku sepagi ini? Apa yang terjadi padanya?
"Eh, hmm, Mir? Lu nangis? Kenapaaaaa?"
"Arya, Din...."
"Hah? Arya? Kenapa dia?" mendengar Mira menyebut namanya membuatku sadar sepenuhnya. Aku segera memperbaiki posisiku dari atas tempat tidur ini, agar aku dapat mendengar dengan jelas cerita yang akan Mira sampaikan. Tentang Arya, tentu saja.
"Dia nolak gue, Din... Tega banget...." terdengar isakan Mira semakin keras.
Aku? Membatu. Tak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Bukan karena bagaimana bisa Arya menolak cinta gadis paling populer di sekolah seperti Mira. Tapi karena bagaimana bisa Mira mengungkapkan cinta pada Arya. Pria yang sudah kukagumi sejak lama. Walau tak ada yang pernah tahu akan hal itu.
"Ha...h? Koo..oo...kk bi..ii...saa, Mir?" hanya itu yang mampu meluncur dari mulutku.
Dan Mira pun bercerita panjang lebar tentang kejadian semalam. Bagaimana ia, ternyata, menyukai Arya. Bagaimana ia, ternyata, mendekati Arya dengan berbagai cara, seperti mengirimkan pesan-pesan singkat, membawakan makanan kesukaannya, mencuri-curi kesempatan agar bisa berbincang dengannya, sampai menyapanya dengan berbagai alasan via media sosial. Sampai akhirnya, Mira berhasil mengajak Arya menghabiskan malam minggu bersama dan menyatakan cinta padanya. Mira bercerita, Arya dengan halus menolak permintaan Mira untuk menjadi kekasihnya, dengan alasan yang tidak dapat ia sampaikan pada Mira.
Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika Mira menceritakan semua hal itu lewat telepon genggam ini. Aku. Tidak. Percaya.
Bagaimana bisa kami tidak saling tahu bahwa kami menyukai pria yang sama?
Aku memang beberapa kali sempat mendengar cerita Mira tentang pria yang ia sukai saat ini. Tapi ia bilang ia tidak akan memberitahuku siapa orangnya, sampai ia benar-benar bisa bersamanya. Aku dan Mira memang terpisah kelas di sekolah, kegiatan dan tugas yang cukup menyita waktu di akhir periode masa sekolah kami ini memang kerap menghalangi kami untuk berjumpa atau bahkan bercerita tentang hal ini dan itu.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi.
Mengingat kami bersahabat sudah sejak berseragam putih biru. Rasanya aku hafal betul tipe pria idaman Mira. Dan tidak pernah sekalipun kami setuju pada satu penilaian tentang seorang pria. Bagaimana bisa kali ini kami kompak menyukai pria yang sama?
Dalam hati, aku terus membantah tentang apa yang terjadi pagi ini. Mimpikah ini semua? Sayangnya, tidak. Aku dapat merasakan dengan jelas, dingin air mataku mengalir menyentuh bibir yang kelu ini.
Sebelah tanganku masih menggenggam ponsel untuk mendengar suara Mira di ujung sana. Sebelah tanganku lagi mencoba membuka laci di samping tempat tidurku. Mengeluarkan sepucuk kertas berwarna ungu, warna kesukaanku. Meraba sebaris tinta hitam di atas kertas itu. Membaca dalam hati sekalimat yang tak akan dapat aku lupakan. Dan aku, menemukan hatiku luluh lantak.
"Aku menyukaimu, Dinda. Aku menyayangimu. Sangat... - Arya"

**

Sejak kejadian pagi itu, aku menjalani hariku dengan cukup banyak kepura-puraan. Pura-pura menenangkan Mira tentang Arya. Pura-pura baik-baik saja ketika bertemu dengan Arya, padahal bayangan Mira kerap terlintas setiap kumelihat Arya. Pura-pura tak terjadi apa-apa, sementara hatiku masih dalam kemelut besar. Aku tidak mungkin menyukai pria yang juga sahabatku sukai. Aku tidak ingin dikenang sebagai teman yang menusuk dari belakang sahabatnya sendiri. Aku tidak ingin menghancurkan persahabatanku dengan Mira. Haruskah aku mengalah? Tapi aku mencintai Arya. Mungkin jauh sebelum Mira memperhatikannya. Haruskah aku mengalah, hah?
Arya memang tidak mengubah sikap dan perhatiannya padaku. Hanya saja, ia tampak mengambil keputusan yang cukup bijaksana, untuk tidak memaksaku bersamanya, karena ia tahu betul aku tidak ingin mengkhianati sahabatku sendiri. Ia kerap menjaga jarak denganku, jika di saat itu ada Mira di sekitar kami. Kami seperti sedang bersandiwara. 
Dan aku, hanya bisa menertawakan kisah yang cacat ini.
Benarkah tak ada kisah yang benar-benar sempurna? Mengapa setelah sekian lama aku mencari, dan ketika kumenemukan orang yang tepat, kita bahkan tidak diijinkan bersama? Haruskah kisah dua orang yang saling mencintai tidak berujung pada bahagia? Haruskah ada kecacatan dalam kisah yang nyaris sempurna ini?
Aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya semesta inginkan dariku? Menjalani kisah cacat ini?
Baiklah.